Reformasi Polri Berkelanjutan, Upaya Pemulihan Citra Polri

Oleh: Dr. Rasminto (Koordinator Bidang DPP KNPI dan Dosen Geografi Politik UNISMA).

Reformasi Polri bukan sekedar berada pada ruang hampa, dia adalah bagian dari sejarah gelombang krisis multi dimensi yang dimulai dari tahun 1997 dan terakumulasikan dalam gerakan reformasi 1998.

Reformasi pada dasarnya merupakan suatu gerakan moral dan kultural (moral and cultural movements) untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip negara hukum menurut UUD 1945 dengan menempatkan hukum sebagai sesuatu yang supreme dalam kehidupan bersama.

Proses reformasi tersebut kemudian membuka ruang baru bagi dinamika relasi perilaku elit masyarakat dan proses transisi perubahan sistem kelembagaan negara.

Mandat reformasi menghendaki terciptanya sistem pemerintahan yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) serta menempatkan militer murni sebagai alat pertahanan negara yang tunduk pada supremasi sipil. Adanya kedua institusi Tentara dan Polisi di negeri ini diharapkan menjadi institusi yang profesional dan mandiri dalam mengemban tugas Negara. Namun, reformasi 1998 ternyata seolah menjadi proses lahir cesar bagi institusi Kepolisian dari rahim Angkatan Bersenjata/Tentara, dan sangat menguras energi bangsa ini.

Pada era Presiden BJ Habibie, misalnya, terjadi kuasi status quo di tubuh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) karena terjadi tarik-menarik cukup keras antara Presiden dan Menhankam/Pangab sebagai basis di belakang pemisahan Tentara dan Polisi.

Urgensi reformasi Polri bukan hanya sekedar perbedaan dalam pelaksanaan tugas semata, dimana Polisi bertugas mengamankan masyarakat dalam menciptakan ketertiban dan keamanan wilayah sipil, karena sejatinya masyarakat bukanlah musuh. Sedangkan mengamankan dan mempertahankan negara dari ancaman musuh atau dapat dikatakan sebagai alat untuk bertempur secara militer ialah tugas dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Menelisisk proses pemisahan Polri dan TNI ialah diawali oleh Instruksi Presiden BJ Habibie nomor 02 tahun 1999 tentang langkah-langkah dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI. Dalam Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Pertahanan Keamanan dan atau Panglima ABRI untuk secara bertahap mulai mengambil langkah-langkah seperlunya untuk melakukan reformasi Polri dengan menempatkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri kepada Departemen Pertahanan Keamanan.

Jenderal Wiranto sebagai Menhankam sekaligus Panglima ABRI seperti mendapat durian runtuh, dengan meresponnya dalam bentuk mengeluarkan Keputusan Menhankam/Pangab Nomor Kep/05/III/1999 tanggal 31 Maret 1999 tentang pemisahan Polri dari ABRI, bahwa mulai tanggal 1 april 1999 wewenang penyelenggaraan pembinaan Polri dilimpahkan dari Panglima ABRI kepada Menteri Pertahanan Keamanan. Hal ini menjadikan Kuasi reformasi POLRI, karena faktanya secara posisi berada di bawah Kementerian Pertahanan Keamanan. Sehingga, jangan sampai Presiden Jokowi dan Pak Mahfud MD selaku Menkopolhukam melupakan proses panjang pilihan Reformasi kelembagaan yang melahirkan Polri yang sejatinya merupakan agenda gerakan reformasi 98, yang digulirkan sampai sekarang. Oleh sebab itu, reformasi Polri harus dilakukan secara sustainable.

Berkaca dari kasus pembunuhan berencana dialami Brigadir Novriansyah Yosua Hutabarat, yang dilakukan oleh Irjen Ferdy Sambo selaku pejabat Kadivpropam Mabes Polri, semestinya menjadi momentum sebagai refleksi dan evaluasi, atau bersih-bersih serta menjadi langkah yang tepat bagaimana mendorong penataan organisasi baik secara struktural, instrumental maupun secara kultural bagi Lembaga Kepolisian. Karena, penerapan regulasi bagi Lembaga Kepolisian saat ini terasa hanya sebatas menyentuh aspek instrumental belaka. Sedangkan aspek strukturalnya sangat terbatas, yang menyebabkan tumpang tindih secara aspek fungsional dengan lahirnya kasus, misalnya, adanya Satgasus Merah Putih yang memiliki tugas hampir sama dalam penegakan kejahatan-kejahatan yang sifatnya Siber atau ITE dan tindak kejahatan pencucian uang yang ada dalam kewenangan di Ditipsiber, Diskrimsus baik di tingkat Mabes, maupun tingkat Polda atau tingkat Polres. Lebih jauh lagi dilihat dari aspek kultural, Polri hingga saat ini seolah dalam tahap masih mencari identias jati diri yang sesuai dengan tuntutan reformasi 98 untuk menjadi Polisi Sipil, penegakan hukum yang adil serta perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat secara tulus dan ikhlas sebagai pengabdi masyarakat (public servent).

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Related Posts