Dalam struktur sosial masyarakat, setiap individu memiliki posisi yang sama.
Baik perempuan maupun laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalan interaksi sosial kemasyarakatan.
Tetapi, sering kali kita temui dalam ruang wacana, perempuan dan laki-laki seperti dihadapkan dalam ruang kompetisi.
Laki-laki ditempatkan superior, sedangkan perempuan hanya sebagai subordinat, atau dalam eksistensi yang inverior.
Itulah yang disebut bangunan paradigma yang tidak berimbang dan cenderung mengeksploitasi serta merugikan perempuan.
Fenomena semacam itu sebaiknya direposisi, bahwa perempuan dan laki-laki dalam ruang interaksi sosial, adalah equal ‘’setara’’.
Tidak boleh ada dikotomi peran, termasuk dalam praktek politik menjelang tahun 2024, penting perempuan mengevaluasi perannya.
Dimana perempuan tidak sekedar menjadi pelengkap dalam ruang politik, dengan embel-embel istilah representasi.
Ruang kompetisi dan kolaborasi diberikan berimbang secara alamiah.
Jika isu gender mau diperjuangkan, hal pertama dibenahi yaitu siklusi kaderisasi partai politik. Tak boleh lagi parpol seolah-olah memperkecil, atau malah mengabaikan peran perempuan.
Dalam sisi struktur kepengurusan parpol, perempuan diberi posisi yang adil.
Serta pengakuan perempuan sebagai elemen penting dalam membangun peradaban, dan mendapat apresiasi dalam peran yang memadai di ruang-ruang publik.
Perempuan layak diberi kesempatan seperti laki-laki dalam kancah politik.
Dimana semua orang akan memantaskan dirinya agar siap menjalankan amanah legitimasi politik rakyat.
Pentingnya keterlibatan perempuan dalam capaian tujuan pembangunan berkelanjutan, tanpa harus dikonotasikan perlu ‘’perhatian khusus’’.
Perempuan dalam kehidupan politik tanpa topangan ambang batas, yang membuat beda perempuan dan laki-laki. Yang utama itu sikap adil dalam politik.
Dengan sikap adil, jujur, transparan, maka perempuan berpotensi imbang dengan laki-laki di parlemen atau bahkan lebih dari setengah.
Menengok kondisi keterwakilan perempuan di DPR RI periode 2019-2024 yang mencapai 118 dari total jumlah anggota DPR RI 575 atau 20,4 persen. Angka tersebut baiknya tidak membuat perempuan berpuas hati.
Dimana semangat demokrasi melahirkan kesamaan, diskriminasi dan praktek yang memicu disparitas.
Dalam panggung politik pun jangan lagi pembiaran disparitas politik, perempuan dan laki-laki seperti dibenturkan dalam perannya.
Idealnya, relasi kekuatan untuk menghadirkan kolaborasi kerja yang baik demi kemaslahatan rakyat Indonesia.
Kenapa harus dibatasi anatara porsi dan peluang perempuan di DPR?, atau dalam diksi politik keterwakilan.
Hal demikian dinilai menurunkan posisi politik perempuan.
Padahal, perempuan atas kemampuan, keterampilan, dan kepiawaiannya telah mengantar perempuan sampai di parlemen.
Kran demokrasi terbuka, dan tidak ada aturan melarang perempuan harus melewati jumlah atau menyamai jumlah laki-laki di parlemen (DPR).
Ambang batas keterwakilan perempuan 20 persen dalam ruang berpolitik, seperti membawa kesan perempuan menjadi lemah.
Baik di parpol, distribusi peran, pemberian kesempatan, dan saling menghormati posisi dalam praktek politik.
Bukan soal apresiasi yang melahirkan sikap ‘’lemah’’. Sikap yang dapat dipersepsikan buruk, merendahkan sumber daya kaum perempuan dalam ruang politik, perempuan dan laki-laki sama saja.
Belum tentu laki-laki lebih hebat, lebih punya skill, lebih berintegraitas dari perempuan.
Perempuan tidak butuh disubsidi atau diberi bonus, yang dituntut dan diperjuangkan perempuan ialah sikap tidak adil.
Rakus atau monopoli yang dilakukan siapapun, baik penguasa, pemimpin parpol, serta siapa saja.
Itulah yang menjadi objek kritik perempuan. Karena hal itu melahirkan ketimpangan. Melahirkan kemiskinan merajalela di negara ini.
Menyiapkan perempuan secara internal perlu membangun tradisi literasi politik.
Literasi membangun kesadaran dan kualitas diri pribadi.
Sehingga politisi perempuan menjadi peka terhadap isu-isu yang mendiskreditkan perempuan. Hingga lahirlah politisi perempuan yang matang dan populis.
Upaya merawat akal sehat politisi perempuan juga secara otomatis mengangkat derajat perempuan dalam ruang kontestasi sosial.
Dari percakapan yang negatif, digeser ke percakapan yang positif dan produktif, membuat kehidupan politik di negara ini akan makin humanis dan bermoral.
Sehingga, kehadiran perempuan dalam panggung politik memberi makna, menambah nilai bagi demokrasi kita.
Perempuan saling menginspirasi untuk berfikir inklusif, tidak mau disudutkan dengan anggapan kerdil yang merugikan posisi politik perempuan. Perempuan tampil dengan penuh kepercayaan diri.
Mengedepankan integritas dan pengalaman diri yang tumpah ruah.
Aktivitas tersebut selain memberi sumbangsi pada demokrasi, perempuan juga telah membebaskan dirinya dari pola perbudakan ‘’kecongkakan’’ oknum yang menilai perempuan selalu lemah, tidak memiliki power.
Menyongsong Pemilu 2024, rasanya hal-hal positif di atas perlu dibangun. Secara kolektif. Kemudian, kesadaran menegakan aturan, membuang jauh cara pandang meremehkan perempuan dalam percaturan politik haruslah dilakukan. Perempuan tampil menunjukkan kualitas dan kebolehan.
Bukan hanya mengandalkan paras wajah cantik, namun minim pengetahuan dan pengalaman.
Karena usaha merubah image tidak mudah. Semua membutuhkan kesungguhan, dan pembuktian.
Perempuan memulai transformasi dari dirinya, lalu berekspansi ke wilayah-wilayah public pada Pemilu dan Pilpres 2024 harus memberi ruang proporsional kepada perempuan.
Capres perempuan, Caleg perempuan, dan calon Kepala Daerah perempuan harus tampil.
Perempuan bukan lagi pelengkap dalam percaturan politik. Tapi, menjadi aktor politik penting yang akan memajukan Indonesia. Politisi perempuan hadir dengan menampilkan moralitas, etika, intelektualitas, dan integritas. Serta, etos kerja yang tinggi, peduli pada masalah rakyat dan berani berpihak pada kepentingan rakyat.