Reformasi Polri Berkelanjutan, Upaya Pemulihan Citra Polri

Jika kita perhatikan dari perspektif pembangunan di Indonesia pada pemikiran yang sifatnya strukturalis hanya mementingkan upaya untuk menghilangkan sebab-sebab dasar konflik sedangkan persoalan ketidakadilan dan ketimpangan sosial, harusnya lebih dibangun sebagai salah satu solusi klasik yang ditawarkan untuk menghilangkan instabilitas dalam bidang sosial politik di tubuh Polri dan pemerintah. Melihat dari persoalan yang ada tadi perlu diuraikan, karena pembangunan harus berorientasi pada keamanan manusia (human security), dan hal tersebut memiliki multi fase yang perlu mendapat perhatian karena berbagai aspek yang begitu luas dimulai dari keamanan ekonomi, keamanan politik, keamanan polisional, keamanan militer, keamanan hukum dan termasuk keamanan hak-hak asasi manusia sampai dengan keamanan harta milik pribadi seseorang. Berkaitan dengan keamanan manusia ini ada tantangan dimasa depan berkait dengan krisis pangan, krisis energi, krisis ekologis, kemiskinan, tingkat kriminalitas trans nasional dan terorganisi. Itulah yang harus menjadi persoalan komitmen, dan termasuk kemarin Covid-19 juga termasuk masalah yang berkaitan tantangan keamanan manusia dalam bidang bio kimia menjadi orientasi kerja Polri. Konsep bernegara ini dalam praktek pembangunan ini harus dibangun keadilan hukum, pelestarian lingkungan, penyelesaian konflik secara damai, pelarangan kekerasan, demokratisasi dalam bidang ekonomi dan sebagainya perlu dilakukan reformasi Polri, dimana negara Indonesia termasuk yang menganut sistem demokrasi, dan polisi merupakan sebagai salah satu alat Negara yang seharusnya tidak hanya sekedar sebagai penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Tetapi juga, sebagai pengontrol birokrasi yang berfungsi sebagaimana menjaga keselarasan hubungan antara pemerintah dan warga masyarakatnya. Jadi janganlah Polri dijadikan alat Kekuasaan, apalagi alat politik, karena memiliki fungsinya sebagai pengontrol birokrasi.

Penekanan utama reformasi Polri harus bertujuan untuk merubah polisi yang militeris, menjadi polisi sipil (civilian police) yang demokratik, profesional dan akuntabel. Ini prosesnya memang berpacu pada pelaksanaan tugas rutin sehari-hari yang menjadi sorotan publik. Sehingga reformasi Polri yang diharapkan bisa merubah citra yang nampak seperti sekarang dengan adanya efek kasus Sambo yang menjadi sorotan publik yang berdampak begitu suram bagi institusi Polri saat ini. Maka, hakikatnya dari citra negatif yang melekat dari Polri, bisa dihapus dengan cara bukan hanya mengejar prestasi dengan mengungkap siapa pelakunya dan siapa-siapa yang terlibat. Akan tetapi, banyak hal lain yang perlu dilakukan oleh institusi Polri, terutama bagaimana juga membangun paradigma peran polisi sendiri dalam sistem keamanan dalam negeri yang didasarkan pada kaidah demokrasi, menghormati hak-hak masyarakat dimuka hukum, dan jangan jadikan senjata dalam mengintimidasi dan mengintervensi masyarakat.

Kemudian bagaimana mendudukan Polri dalam Pemilu agar menjunjung netralitas dalam proses demokrasi, apalagi menjelang Pemilu serentak di tahun 2024 yang akan datang.

Perlu langkah-langkah konkrit, bagi Kapolri untuk melakukan perumusan Peran Polisi dalam pengawasan terhadap sumberdaya nasional maupun secara internal. Jangan sampai terlibat dalam praktek-praktek yang justru menjerumuskan pada citra kepolisian yang semakin suram.

Selanjutnya, akuntabilitas publik terhadap bisnis Polri, apalagi isu judi online, banyak skema-skema seperti kode 303 dan melibatkan “beking” oleh pejabat Polri itu sendiri yang viral di media sosial. Misalnya aparat kepolisian ataupun pejabat utama Polri terlibat dalam masalah itu. Maka akuntabilitas publik ini menjadi ujian utama bagi pak Kapolri untuk segera dituntaskan, bahwa Kapolri dapat menyelesaikan dan mengungkap bisnis-bisnis oknum anggota Polri yang membuat suram citra Polri. Sangat dibutuhkan pengawasan eksternal dengan melibatkan berbagai aspek yang menjadi “external over side”, terhadap aktivitas anggota Polri yang memiliki wewenang investigasi, sehingga tidak ada penyimpangan dalam praktek-praktek penegakan hukum. Pekerjaan rumah kedepan dalam melakukan arah reformasi Polri yang berkelanjutan.

Pertama, bagaimana membangun aspek struktural Polri menjadi lembaga yang independen, lembaga yang tidak terdikotomi oleh kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan kekuasaan serta perlunya penataan kelembagaan negara harus sesuai arahan Presiden Joko Widodo untuk lebih mengutamakan dalam penyederhanaan birokrasi yang proporsional, efektif, bersinergi serta berwibawa, sehingga mengacu pada Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2020 yang telah membubarkan 10 Lembaga pemerintah non Kementerian dengan pertimbangan efektifitas dan efisiensi. Kedua, aspek instrumental, perlunya penataan mereform paradigma definisi “keamanan” dalam ketatanegaraan Indonesia. Dimana pada Bab XII tentang pertahanan dan keamanan negara, khususnya poin c, dan juga UU Nomor 2/2002 tentang Polri menyebutkan bahwa Polri hanya pada Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) dalam konteks untuk keamanan dalam negeri, bukan keamanan yang bersifat luas. Pada Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 tersebut tidak memisahkan pertahanan dengan keamanan negara. 

Sementara yang dimaksud keamanan nasional sebagaimana terdapat dalam penjelasan UU Nomor 17/2011 tentang intelijen negara, mengatakan keamanan nasional terdiri dari 4 dimensi yaitu keamanan manusia, Kamtibmas, Kamdagri dan Pertahanan. Sehingga jelas pertahanan dan keamanan tidak dapat dipisahkan dalam membangun Indonesia yang adil dan berdaulat. Lalu pada situasi kekinian, dimana pentingnya membangun trust building dalam mengungkap kasus-kasus yang berkaitan dengan peraturan perundangan, dan juga lembaga-lembaga non keamanan di luar kepolisian juga yang harus membantu proses reformasi Polri secara instrumental tersebut, misalnya proses penyidikan dan proses penyelidikan judi online yang begitu rumitnya penelusuran pelaku dalam menggunakan rekening bank, maka perlu adanya reformasi dalam UU Perbankan. Sedangkan secara aspek kultural, perlu dibangun kembali menguatkan jati diri, doktrin, Tribrata, Catur Prasetya dan kode etik Polri sebagai bagian dari pemuliaan profesi Polri untuk kedepan. Perlu juga melakukan redefinisi Jati diri Polri dengan melalui demiliterisasi, bahwa Polri adalah sebagai polisi sipil, dan bukan bagian Militer yang sifatnya militeristik. Kemudian, redefinisi Polri dalam depolitisasi, agar tidak terlibat terlalu dalam terhadap polarisasi politik-politik elit yang membawa citra Polri sebagai alat politik. Sehingga desakralisasi Kepolisian mulai dari seragam atau senjata Polri yang selama ini berkesan menjadi alat untuk menindas, alat untuk mengintervensi, mengintimidasi masyarakat, berubah menjadi lebih mengutamakan penegakan hukum yang seadil-adilnya dan setegak-tegaknya, serta yang paling terpenting adalah adanya kemauan (goodwill) dari seluruh anggota Polri untuk berubah menjadi Polri yang humanis sebagai pengayom, pelindung dan pelayan dalam penegakkan hukum sesuai konstitusi. Selain itu, pemulihan citra Polri hanya dapat terbangun, hanya dengan komitmen dan konsistensi yang dilakukan oleh Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dalam pemberantasan seluruh kasus yang bukan hanya jadi sorotan publik seperti kasus Sambo dan judi online. Selain itu, citra Polri akan kembali pulih terlebih dengan transformasi Polri yang Presisi yang mengedepankan kemampuan untuk memprediksi situasi dan kondisi yang menjadi isu dan permasalahan serta potensi gangguan Kamtibmas dapat diselesaikan dengan excellent bukan hanya sekedar jargon dalam ruang publik semata.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Related Posts