Eksploitasi pengeboran gas alam di Teluk Bintuni melalui proyek gas raksasa yakni Liquefied Natural Gas (LNG) Tangguh di Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat dengan luas 5.966,9 km2, dimana berdampak besar pada kerusakan ekosistem lingkungan wilayah konsesi proyek. Hal tersebut disoroti oleh Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPP KNPI) Haris Pertama.
“Eksploitasi proyek gas raksasa LNG Tangguh di Teluk Bintuni mengharuskan dilakukan penebangan hutan mangrove di Distrik Babo yang didiami suku Sumuri yang sekarang dijadikan lokasi berdirinya pabrik LNG seluas sekitar 3.500 hektare”, kata Haris Pertama.
Haris mengatakan bahwa hutan mangrove di Bintuni adalah hutan bakau seluas 225.367 hektar atau 52 persen dari total keseluruhan hutan mangrove di Papua Barat.
“Proyek LNG Tangguh sejak awal masuk eksploitasi tahun 2002 yang telah baanvak merambah kawasan hutan mangrove di Teluk Bintuni, kini kita akan diperlihatkan kondisi hutan mangrove Teluk Bintuni terutama di kawasan pesisir Tanah merah yang mengalami kerusakan sangat parah”, tegasnya.
Padahal Hutan mangrove berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem di wilayah pantai, karena berfungsi sebagai filter alami untuk memproses air limbah dan mengurangi polusi serta sebagai habitat bagi banyak flora dan fauna liar lainnya.
“Akar mangrove yang kuat dapat menahan erosi dan melindungi pantai dari abrasi dan kekeringan, hutan mangrove juga menjadi habitat bagi banyak satwa liar, seperti burung, ikan, dan udang, yang bergantung pada ekosistem ini untuk kehidupan mereka”, kata Haris.
Haris pun melanjutkan bahwa Hutan Mangrove juga merupakan tempat hidup bagi banyak spesies tumbuhan dan hewan yang unik dan langka.
“Sehingga kita harus menjaga keanekaragaman hayati di wilayah tersebut, selain itu Hutan mangrove memiliki kemampuan untuk menyerap karbon dioksida dari udara, sehingga berperan dalam mengurangi dampak perubahan iklim global”, jelas Haris.
Haris juga menuturkan bahwa aktivitas masyarakat yang terdampak dari eksploitasi proyek LNG Tangguh dimukimi oleh suku-suku pesisir yang sehari-hari beraktivitas sebagai nelayan seperti suku Sumuri, suku Sebiyar, dan suku Irarutu sangat terdampak aktivitas ekonominya karena kerusakan ekosistem mangrove.
“Jelas bahwa ekosistem mangrove dapat menyediakan tempat berkembang biak yang penting bagi banyak spesies ikan dan hewan laut lainnya, namun kini kondisinya tidak seperti dulu lagi dimana kondisinya sudah sangat miris, masyarakat suku-suku kami sangat kesulitan mencari nafkah dari aktivitas nelayan”, jelas Haris.
Haris pun menegaskan bahwa yang terjadi pada Hutan Mangrove Teluk Bintuni jelas merupakan pelanggaran terhadap UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
“Pemerintah khususnya aparat hukum semestinya dapat bertindak tegas, jelas proyek LNG Tangguh ini telah melakukan pelanggaran terhadap UU 18/2013, dimana sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha, penghentian sementara kegiatan usaha, pemulihan ekosistem dan sanksi administratif lainnya”, jelas Haris.
Ia pun menambahkan bahwa ada sanksi pidana yang akan menjerat bagi melanggar UU P3H ini.
“Bagi pelanggar UU P3H ini dapat dijatuhi sanksi pidana berupa kurungan atau denda. Jika perusakan hutan dilakukan secara berkelanjutan dan merusak luas, maka pelaku dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 20 tahun dan/atau denda maksimal 10 miliar rupiah. Serta Pelanggar juga dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh tindakannya”, tegas Haris.
Disisi lain, menurut Fungsionaris DPP KNPI bidang Migas yang juga anak Kepala Suku Besar Sebiyar, Malkin Kosepa menuturkan bahwa berdasarkan data pengamatannya proyek LNG ini menghasilkan LNG dari ladang gas Wiriagar, Berau, dan Muturi, di Teluk Bintuni, Papua Barat dengan luas 5.966,9 km2 dengan hasil produksi yang luar biasa lebih dari 7 juta ton LNG per tahun.
“Produksi Gas Bumi Rata-rata Lapangan Tangguh tahun 2021 sebesar 1.312 MMSCFD, dan status per 14 Juni 2022 sebesar 1.162 MMSCFD. Produksi LNG dimulai pada Juni 2009, dan kargo LNG pertama dikirim pada Juli 2009. Proyek LNG Tangguh menghasilkan 7,6 juta ton LNG setiap tahunnya melalui Train 1 dan 2”, jelas Malkin.
Namun, menurutnya pihak LNG Tangguh selama ini perhatiannya terhadap masyarakat suku asli yang mendiami Teluk Bintuni sangat rendah dan tidak komitmen dalam dana bagi hasil (DBH).
“Berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua Barat (PERDASUS Papua Barat) Nomor 3/2019 pasal 7 ayat (3) poin (e) bahwa bantuan langsung tunai kepada masyarakat adat pemilik hak ulayat sebesar 10% (sepuluh persen), namun hingga kini tidak ada realisasi sama sekali diberikan kepada para suku pemilik hak ulayat”, tegas Malkin Kosepa.