KNPI Singgung Konstitusi dan Pelanggaran, Serukan KNPI Papua Barat Bergerak Kawal Nasionalisasi LNG Tangguh.

Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) terus mendorong nasionalisasi ladang gas tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat. Salah satu ladang gas terbesar di Tanah Air ini dikelola sejumlah investor yang dan dipimpin British Petroleum (BP) dan konsesi segera berakhir pada 2035.

Ketua Umum DPP KNPI, Haris Pertama, menyampaikan, penguasaan LNG Tangguh oleh negara adalah hal mendasar dan mendesak. Sebab, menjadi salah satu ladang gas terproduktif di Indonesia serta menyangkut hajat hidup rakyat sebagaimana mandat Pasal 33 UUD NRI 1945.

“Pemerintahan Presiden Jokowi memiliki catatan bagus soal ini karena berhasil mengambil alih Freeport dengan divestasi saham 51% atau mayoritas. Pemerintahan saat ini juga akhirnya menguasai dan mengelola Blok Mahakam melalui Pertamina,” katanya dalam keterangannya, Sabtu (6/5).

“Nah, negara kita akan semakin besar dan digdaya apabila mampu menguasai LNG Tangguh. Aksi heroik ini harus dilakukan guna membangun kemandirian dan kedaulatan energi nasional demi kemakmuran rakyat, khususnya Papua Barat,” sambungnya.

Lebih jauh, Haris menerangkan, pihaknya telah menyerukan intstruksi kepada DPD KNPI Papua Barat agar menyusun langkah-langkah teknis dan taktis serta penggalangan massa pemuda Papua Barat guna turut mendorong nasionalisasi LNG Tangguh.

“Ini sebagai upaya mengkapitalisasi kekuatan KNPI untuk memperbesar potensi terwujudnya harapan bangsa Indonesia dalam terwujudnya nasionalisasi LNG Tangguh. Sehingga, Presiden Jokowi untuk ketiga kalinya dapat menjalankan mandat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” tandasnya.

Di sisi lain, Koordinator bidang ekonomi DPP KNPI, Rasminto mensinyalir BP melanggar lima poin dalam Pasal 26 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas. Pertama, poin j soal keselamatan dan kesehatan kerja.

“Pada 17 April 2022, BP Indonesia melaporkan melakukan shutdown di Kilang LNG Tangguh Train 2 di Teluk Bintuni karena adanya temuan yang tidak biasa pada bagian gas heater. Namun, permasalahan shutdown tidak dibuka kepada publik, terutama faktor apa saja yang mengakibatkan kejadian tersebut. Ini sangat meresahkan bagi kesehatan dan keselamatan kerja dan bertentangan dengan sistem hukum jaminan keselamatan kerja,” tuturnya.

Kedua, melanggar poin k tentang pengelolaan lingkungan hidup. Menurutnya, komitmen BP dalam pengelolaan lingkungan hidup di area konsesi eksploitasi pengeboran gas alam seluas 5.966,9 km2 sangat lemah. Ini terlihat dari citra satelit pada 2020-2022 di sekitar lokasi LNG Tangguh.

“Hasil analisis citra satelit menunjukkan adanya pencemaran minyak yang pekat di sekitaran muara hutan mangrove di Teluk Bintuni dari waktu ke waktu. Ini berdampak pada kerusakan ekosistem mangrove dan kematian biota laut sehingga hilangnya mata pencaharian masyarakat suku lokal yang biasa mencari udang, kepiting, dan ikan di sekitar hutan mangrove,” paparnya.

Komitmen BP dalam mengalihan hak dan kewajiban terkait hak-hak ulayat serta bagi hasil kepada masyarakat suku asli di sekitar LNG Tangguh juga lemah. Padahal, telah diatur dalam Berita Acara Kesepakatan tertanggal 8 Maret 2005 yang diteken para pimpinan suku asli terdampak, perwakilan BP, dan Bupati Teluk Bintuni serta Akta Notaris Nomor 17 tanggal 24 Juli 2022 dan ditandatangani notaris Putut Mahendra. Artinya, Pasal 26 poin l PP 35/2004 juga dilanggar.

Rasminto mengungkapkan, BP dalam Berita Acara Kesepakatan dan Akta Notaris tersebut bahwa BP melalui Yayasan Pengembangan Masyarakat Sumuri yang dibentuknya mengakui hak-hak adat marga-marga Soway, Simuna, Wayuri yang terdampak LNG Tangguh, termasuk pelepasan tanah adat dan hak-hak perikanan. Namun, tidak ada realisasinya hingga kini.

“Substansi isi berita acara itu juga merugikan suku-suku asli karena lemahnya posisi tawar suku-suku asli, termasuk disebutkannya dalam klausul berita acara bahwa pengurus yayasan diharuskan bukan berasal dari suku asli dan masyarakat suku Sumuri diharuskan menerima semua pembayaran kompensasi dan pengakuan hak-hak atas tanah dan perairan yang terdampak proyek untuk tidak menuntut atas nama mereka sendiri maupun generasi berikutnya. Ini tidak melandasi proporsionalitas perjanjian dan asas keadilan sebab dampak LNG Tangguh secara berkelanjutan berpengaruh pada masa depan generasi suku asli yang mendiami Teluk Bintuni,” urainya.

Keempat, poin p tentang pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat. Kata Haris, BP tidak memberdayakan masyarakat adat dalam pengelolaan LNG Tangguh sehingga kesejahteraan masyarakat adat rendah karena proyek tak berdampak signifikan bagi kelangsungan penduduk sekitar.

“Terakhir, BP melanggar poin q tentang pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia, terutama orang asli Papua. Pada level middle dan top manajemen, BP lebih mempercayakan tenaga kerja asing. Seharusnya ini menjadi perhatian para pemegang kontrak Kerja sama (KKS),” sambungnya.

Share:

Facebook
Twitter
Pinterest
LinkedIn

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

On Key

Related Posts